
Jakarta –
Pemerintah bertujuan mengontrol produk tembakau dan rokok elektrik lewat rancangan peraturan menteri kesehatan (RPMK) 2024.
Sekretaris Jenderal DPN Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Kusnadi Mudi juga menyampaikan pemerintah perlu mengkaji ulang dan mengajak komunikasi para industri dari hulu ke hilir alasannya yaitu dampaknya akan sungguh besar kepada masa depan tembakau. Menurutnya, RPMK belum menurut pada asas keadilan yang menyeluruh.
Atas dasar pertimbangan tersebut, para perwakilan penduduk sipil dalam Halaqah Nasional menganggap RPMK 2024 yang sedang dibahas Kementerian Kesehatan tersebut mempunyai problem dalam faktor perundangan, substansi dan prosesnya, sehingga tak patut buat dilanjutkan pembahasannya oleh pemerintah.
Direktur P3M Sarmidi Husna mengungkapkan ada kegalauan banyak sekali pihak kepada efek RPMK 2024 wacana Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik, yg merekomendasikan ketentuan bungkus polos tanpa merek buat diberlakukan.
RPMK ini yaitu implementasi dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 wacana Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 wacana Peraturan Aplikasi Undang-Undang tersebut.
Sarmidi menyoroti, proses perembesan dan pengayaan pasal-pasal dalam RPMK 2024 sungguh rendah pelibatan publik dan stakeholder yg kredibel, sehingga tidak partisipatif. “Beberapa pasal dalam RPMK 2024 mempunyai potensi merugikan petani tembakau, UMKM, perkumpulan dan industri rokok. Hal ini memicu reaksi dari banyak sekali pihak, tergolong penolakan dari beberapa kelompok,” tutur Sarmidi dalam siaran pers, ditulis (18/9/2024)
Mewakili Kementerian Perindustrian Nugraha Prasetya Yogi mengungkapkan dalam proses PP 28/2024 yg telah disahkan, pihaknya tidak dilibatkan dalam draft akhir. “Apalagi perumusan pasal-pasal dalam RPMK 2024 yang gres ini, kami sama sekali belum terlibat di dalamnya, padahal RPMK ini mempunyai potensi sungguh merugikan dunia jual beli dan industri,” terang Yogi.
Lebih lanjut, Yogi juga menandaskan, kebijakan standarisasi bungkus produk tembakau dan rokok elektronik mempunyai potensi mengembangkan peredaran rokok ilegal. Hal ini sungguh mempunyai potensi menurunkan penerimaan negara dari cukai hasil tembakau.
Menurutnya, meningkatnya peredaran rokok ilegal justru bisa menggerus pasar rokok legal, sehingga dampaknya mulai terjadi penurunan penjualan, penurunan buatan dan efisiensi tenaga kerja, bahkan hingga pemutusan tenaga kerja.
Baca juga: Peritel Risi Kebijakan Kemasan Rokok Polos Bisa Bikin yg Ilegal Menjamur |
“Kondisi ini akan mengancam 537.452 orang tenaga kerja industri hasil tembakau dan mengancam keberlangsungan petani tembakau dan cengkeh yg meraih 1,5 Juta KK,” tegasnya.
Sudarto selaku perwakilan Federasi Perkumpulan Pekerja SPSI-RTMM (Perkumpulan Pekerja Seluruh Indonesia – Rokok, Tembakau, Makanan, Minuman) juga menyuarakan penolakan atas RPMK 2024 model Kemenkes ini. Menurutnya, Indonesia merupakan negara yg berdaulat. Pertanian tembakau dan tata niaga rokok telah usang ada sebelum kalian merdeka.
Dari faktor ketenagakerjaan, industri rokok tak sedikit menyerap tenaga kerja. Sejak terbitnya UU Kesehatan No. 17 tahun 2003, dilanjutkan PP 28 tahun 2004, regulasi tembakau dipaksakan dengan seni administrasi yg senyap dan sistematis.
Khususnya pasca FCTC 2003 diadopsi dan diimplementasikan tahun 2005, regulasi nasional ditekan dan sarat kepentingan bisnis. Meskipun demikian, Indonesia tidak meratifikasi FCTC. Hal ini sejalan dengan pertimbangan jutaan tenaga kerja dari hulu ke hilir yg diserap di industri hasil tembakau.
“Bukan hanya regulasi, industri hasil tembakau dikendalikan lewat kebijakan cukai, industri ditekan dengan peningkatan cukai, sehingga harga rokok kian mahal, dan tak gila jikalau timbul rokok illegal. Kami mewakili para pekerja, yg mempunyai kesetaraan hak di wajah aturan dan hak mendapat pekerjaan yg layak, kita ingin aspirasi kami didengar,” terang Sudarto
Gunawan dari Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) menyodorkan perlunya sinkronisasi PP dengan UU dan Peraturan Pemerintah yg ada. Tembakau yaitu komoditas strategis nasional, dan tergolong produk unggulan lokal, sehingga perlu dilindungi alasannya merupakan melibatkan nasib petani. Selain sinkronisasi, setiap regulasi perlu melindungi hak-hak petani dan partisipasi publik secara lebih bermakna. “Membuat peraturan tembakau tanpa partisipasi yang berarti bisa dianggap inkonstitusional,” ujar Gunawan.
Sementara itu Ali Rido menganggap RPMK ini sungguh hegemonik alasannya yaitu melebihi kewenangannya mengontrol hal yang seharusnya tak dikontrol dalam peraturan menteri. Dalam pembahasan RPMK, Kemenkes tidak mengakomodir seluruh kepentingan stakeholder pertembakuan.
Anggota dewan perwakilan rakyat RI, Muhammad Misbakhun menyebut kuatnya kepentingan perusahaan raksasa dalam rezim kesehatan internasional memicu bangkrutnya jerih payah rakyat, hilangnya lapangan kerja dan suramnya masa depan petani tembakau, petani cengkeh, serta kelancaran jerih payah industri hasil tembakau (IHT) nasional.
“Pemerintah selaku regulator tidak pernah menempatkan diri selaku fasilitator yang menyediakan exit strategy yang solutif bagi ekosistem pertembakauan,” ungkapnya.
Misbakhun juga menyebut RPMK wacana tembakau dan rokok elektronik ini juga minim partisipasi industri dan publik buat mengkaji efek (khususnya ekonomi) yang ditimbulkan dari beberapa pasal yang berhubungan dengan sektor IHT. “Saya menyaksikan minimnya partisipasi ini menyediakan efek kepada keadaan ekonomi di masa mulai tiba,” tuturnya.
Senada dengan Misbakhun, Budiman dari Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia menganggap pelarangan dan pembatasan pemasaran produk, niscaya mulai mempunyai pengaruh pada penurunan buatan dan mempunyai pengaruh pada tenaga kerja dan serapan materi baku tembakau dan cengkeh. Indonesia mempunyai 97 persen rokok kretek yang menggunakan cengkeh, dan 1,5 juta petani cengkeh menyanggupi perembesan keperluan rokok kretek. Restriksi mulai mempunyai pengaruh pada penduduk yang menopang ekosistem pertembakauan.