
Jakarta – Adagium ‘ganti menteri ganti kurikulum’ memang bukan sekadar slogan. Buktinya, belum usang kursi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim bergeser terhadap Abdul Mut’i, kini berjulukan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, kasak kusuk pergeseran kurikulum dan pelaksanaan kembali Ujian Nasional (UN) telah akan kencang berembus. Bahkan di media biasa mulai beredar mengenai mengembalikan Ebtanas dan kurikulum usang selaku pengganti Kurikulum Merdeka.
Apakah setiap kali ganti menteri senantiasa identik dengan penilaian kebijakan menteri usang dan membanding-bandingkan dengan pendidikan masa lampau? Jika ide kembali pada metode pendidikan lama, baik kurikulum maupun ujiannya lantaran argumentasi yg dahulu lebih berkualitas, tentu hal tersebut menyediakan langkah mundur lantaran dapat menghalangi perkembangan dan inovasi pendidikan. Hal ini mempunyai potensi menangkal perkembangan penerima didik dalam hal kreativitas, pembiasaan teknologi, dan kolaborasi.
Sistem usang pastilah menyesuaikan berkembang kembang siswa sesuai masa itu. Siswa zaman lalu condong berkonsentrasi pada hafalan dan metode pembelajaran satu arah yg kurang menstimulasi daya kebijaksanaan kritis dan kesanggupan problem-solving. Hal itu terjadi lantaran sumber keterangan yg mampu memperkaya khazanah wawasan siswa masih terbatas. Paling sumber mencar ilmu dari guru, buku, dan media elektronik.
Berbeda pada kala Revolusi Industri 4.0 sekarang. Siswa dapat mencar ilmu apa saja dan dari mana saja. Sumber informasi beraneka ragam, akan dari internet, aplikasi, sampai kecerdasan buatan. Poly, generasi kini yg dapat bahasa abnormal menggunakan channel Youtube. Belajar juga tak perlu lagi di sekolah atau wilayah tutorial belajar. Toh memakai banyak sekali aplikasi, menyerupai Ruang Guru, Zenius, dan lain-lain tak kalah asyik dan menyenangkan.
Perkembangan ilmu wawasan dan teknologi niscaya beririsan dengan perubahan proses mencar ilmu dan mengajar generasi muda. Siswa lalu dan kini mempunyai keperluan dan keunikan yg berlainan dalam proses mencar ilmu dan mengajar. Jauh sebelum sekarang, Ali bin Abi Tholib pernah berkata, “Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya lantaran mereka hidup bukan di zamanmu.”
Kurikulum 1994 dan Kurikulum 2013 tak sesuai lagi dipraktekkan pada kala sekarang. Bukan saja zaman sudah berubah, apalagi lagi abjad siswa sudah jauh berbeda. Kurikulum usang memutuskan patokan pengajaran yg kaku dan menciptakan guru sukar menyesuaikan materi dengan keperluan siswa. Akibatnya, siswa condong mencar ilmu buat cobaan tanpa betul-betul mengerti rancangan yg diajarkan.
Bank Dunia (2000) menyatakan bahwa kurikulum yg berorientasi pada hafalan condong menghalangi perkembangan kesanggupan berpikir kritis, alasannya siswa tak diberi ruang bagi berpikir secara mandiri. Begitu juga dengan impian sebagian pihak kembali pada Ebtanas (Penilaian Belajar Tahap Nasional) dan UN selaku nilai ukur capaian siswa pada selesai fase (SD, SMP, dan SMA) tentunya telah tidak berkaitan lagi.
Baik UN maupun Ebtanas terlalu berkonsentrasi pada nilai selesai sehingga siswa cuma berorientasi pada angka tanpa pengertian mendalam. Sebuah survei dari Forum Penelitian Pendidikan (2001) mendapatkan bahwa 60 persen siswa merasa frustasi menghadapi Ebtanas. Sedangkan UN lebih parah lagi, lantaran telah bukan diam-diam biasa buat memperoleh nilai UN yang tinggi, sekolah bersekongkol dengan Dinas Pendidikan mencari bocoran soal atau kunci jawaban.
Dr. Sugata Mitra, pakar pendidikan dari Newcastle University, menekankan pentingnya self-organized learning environment (SOLE) atau lingkungan mencar ilmu yg mendorong siswa mendapatkan respon sendiri dan terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran (Mitra, 2013). Konsep ini sejalan dengan Kurikulum Merdeka, yg menitikberatkan pada pembelajaran berdikari dan berbasis proyek, membentuk siswa yg mampu berpikir kritis dan inovatif di luar ruang kelas .
Penyempurnaan Kurikulum Merdeka
Kurikulum Merdeka merupakan upaya signifikan buat mengadaptasi pendidikan Indonesia dengan permintaan terbaru yang membutuhkan siswa dengan kesanggupan berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, dan komunikatif (kemampuan 4C). Kurikulum Merdeka dirancang biar siswa lebih terlibat aktif dalam pembelajaran berbasis proyek yang kontekstual, memungkinkan mereka menyebarkan keahlian berpikir kritis dan memecahkan kendala dari pengalaman nyata.
Kurikulum Merdeka juga membuka kesempatan gres untuk metode penilaian yang lebih holistik, mengambil alih UN yang terlalu konsentrasi pada angka. Penghapusan UN memungkinkan adanya asesmen berbasis proyek yg tak hanya menganggap kesanggupan kognitif, tetapi juga faktor sosial dan emosional siswa. Jika UN dikembalikan, dikhawatirkan siswa mulai kembali ke teladan mencar ilmu yang memprioritaskan hafalan dan hasil nilai cobaan semata, alih-alih menyebarkan keahlian yang berharga buat kehidupan.
Evaluasi kebijakan memang diperlukan, tetapi bukan buat mengembalikan metode pendidikan ke masa kemudian yang terbukti sarat dengan kelemahan. Pendidikan Indonesia butuh fondasi yang mempunyai dampak buat bertumbuh dan menghadapi masa depan, bukan siklus penilaian tanpa arah yang menenteng kita mundur.
Stabilitas kebijakan pendidikan diperlukan biar siswa, guru, dan sekolah sanggup menyesuaikan diri dan meningkat secara konsisten. Stabilitas yaitu kunci berhasil dalam pendidikan. Perubahan yg terlalu sering pada kebijakan pendidikan menyebabkan kebingungan dan menghalangi perkembangan siswa serta guru. Finlandia sendiri menjaga kurikulumnya selama puluhan tahun, dengan konsentrasi pada kenaikan mutu pengajaran dan modifikasi metode yg berkelanjutan.
Kita menyetujui bahwa nilai-nilai dasar dari metode pendidikan usang tetap penting, metode dan pendekatan mesti terus diperbaharui biar pendidikan sanggup menciptakan lulusan yang kreatif, berpikir kritis, piawai berkomunikasi, dan simpel berkolaborasi pada kala global. Dan, itu seluruh tidak dapat ditemukan bila setiap ganti menteri ganti kebijakan, utamanya kurikulum. Semoga tidak!
Arfanda Siregar dosen Politeknik Negeri Medan, fasilitaor Sekolah Penggerak, pelopor Sekolah Menengah Pertama dan MA Ali Bin Abi Tholib, doktor Pendidikan dan Kejuruan
kurikulum pendidikanujian nasionalHoegeng Awards 2025Baca cerita inspiratif calon polisi teladan di siniSelengkapnya