Keep Up to Date with the Most Important News

By pressing the Subscribe button, you confirm that you have read and are agreeing to our Privacy Policy and Terms of Use
Follow Us
Follow Us

Dirtylateral Tariff : ‘ Fair Trade ‘ Ala Trump

Mengapa Rusia dan Belarus Luput dari Tarif Baru Trump?

Jakarta – Kebijakan tarif resiprokal fair trade menjadi “dirty policy” yang ditangani Amerika Serikat (AS) yang dulu mengiklankan jual beli bebas dan friend-shoring tapi dikala ini bermetamorfosis negeri tiran. Pada 2 April 2025 yang dinilai Trump selaku “Liberation Day”, ia mengenakan tarif gres untuk banyak sekali negara. Kebijakan ini akan menjadi katalis negatif bagi perekonomian global di mana berpeluang terdisrupsi sampai 1 persen pada 2025, mengembangkan inflasi global, serta reformat peta geopolitik dan geo-ekonomi baru.

Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok telah bersepakat untuk menjadi satu aliansi pasca Trump mengenakan tarif 25 persen untuk kendaraan beroda empat yang tidak dibentuk di Amerika Serikat. Sehingga semestinya ASEAN selaku satu entitas juga sanggup menanggapi tarif resiprokal ini serupa dengan yang ditangani oleh negara di wilayah Asia Timur tersebut. Kebijakan resiprokal ini menghasilkan banyak sekali negara wilayah ASEAN terkena tarif gres dimana yang tertinggi yakni Kamboja sebesar 49 persen, Vietnam sebesar 46 persen, dan untuk Indonesia terkena sebesar sebesar 32 persen.

Pemerintah perlu melaksanakan pembiasaan kepada tarif resiprokal yang dikenakan Trump dan mesti ditangani dengan prinsip kehati-hatian. Secara jangka pendek, kebijakan ini akan berefek pada pelemahan nilai tukar rupiah yang hendak menghasilkan US dollar menguat sampai 2-3 persen; otoritas moneter mesti menampilkan respons stabilisasi dengan menggunakan cadangan devisa. Apabila menyaksikan kinerja neraca jual beli 2024, maka surplus jual beli Indonesia dengan AS sebesar US$ 31,04 miliar dan paling besar dari non migas sebesar US$ 51,44 miliar dan pada produk migas Indonesia masih defisit sebesar US$ 20,4 miliar.

Advertisement

Berbagai upaya ini strategis ditangani mudah-mudahan Indonesia tidak masuk ke dalam fase deflasi spiral di mana terjadi kenaikan PHK, perlambatan daya beli, dan potensi perlambatan perkembangan ekonomi. Melihat risiko ini, maka pemerintah perlu meredam pengaruh dengan mengandalkan perkembangan ekonomi endogen dengan mempertahankan daya beli golongan menengah dan atas serta mengajak penduduk gembira dan menggunakan produk lokal. Pemerintah juga dikehendaki menampilkan stimulus pada sektor esensial yang bersifat padat karya serta mendorong relaksasi perpajakan.

Baca juga : Warga Di Iran Ramai-Ramai Jalani Operasi Hidung, Buat Apa?

Apabila menyaksikan data komoditas penyumbang surplus neraca jual beli Indonesia dan AS yakni produk garmen, perlengkapan listrik, bantalan kaki, minyak binatang dan nabati, dan produk binatang dan air di mana produk tersebut ialah produk yang sifatnya padat karya tapi dalam menanggapi tarif resiprokal, pemerintah dinilai perlu mengambil pendekatan kebijakan non tarif untuk menyingkir dari retaliasi dari AS.

Pemerintah perlu menyasar persoalan non tarif produk unggulan Amerika Serikat ke Indonesia menyerupai pesawat, materi bakar dan mineral, obat-obatan dan alat kesehatan, alat listrik dan elektronik, propam dan butan cair, kedelai, daging lembu, susu, dan jagung. Berbagai upaya yang sanggup dilakukan: melakukan banned ekspor CPO ke AS dengan membuatkan biodiesel di dalam negeri, melaksanakan banned impor komoditas susu, jagung, daging lembu yang mana sanggup bekerjasama dengan Selandia Baru (dengan pendekatan gravity theory), berbelanja produk migas dari Rusia, dan mempercepat local currency transaction, eksplorasi borderless payment, atau pembayaran dengan koin digital (bitcoin) dengan banyak sekali negara teman dagang.

Dalam mempertahankan stabilitas nilai tukar rupiah, pemerintah sanggup memperluas sektor yang dikenakan DHE seperti: 1) menampilkan insentif menyerupai underlying swap; 2) menampilkan kepraktisan menyerupai cash collateral, giro, deposit, dan simpanan dengan imbal hasil yang menarik; 3) menjamin DHE tidak mengusik gearing ratio. Untuk mengembangkan keyakinan pasar, Indonesia mesti melaksanakan reformasi birokrasi dan struktural (non ekonomi), memudahkan layanan OSS, menampilkan kepastian hukum, menurunkan ICOR, mempercepat GovTech.

Penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga menjadi preseden yang angker dan berisiko terjadi, maka pemerintah mesti memudahkan tahapan buyback emiten saham untuk menangkal penurunan IHSG, mendorong penanam modal domestik untuk berbelanja saham, dan menampilkan kepastian stabilitas metode keuangan (SSK) dengan memperbaiki taktik komunikasi di bidang ekonomi.

Dari segi penanaman modal abnormal (FDI) dari Amerika Serikat juga nilainya cukup tinggi –pada 2024 sebesar US$ 2,82– menyerupai Apple, Marlboro, Coca Cola, dan KFC (industri high-tech dan makan minum) maka tarif resiprokal akan menghasilkan perusahaan AS berpikir ulang berinvestasi di Indonesia dan mengembangkan risiko terjadinya PHK.

Maka dari itu, dari segi jual beli internasional, pemerintah perlu menguatkan jual beli dengan negara ASEAN dan melaksanakan eksplorasi ke pasar non tradisional menyerupai Afrika dan Pasifik, sedangkan untuk mengantisipasi pengaruh penurunan penanaman modal abnormal (FDI), Indonesia sanggup menyasar negara dengan populasi aging tinggi menyerupai Jepang dan Korea Selatan, negara menyerupai Dubai dan negara Nordik.

Pada dasarnya kebijakan resiprokal Trump ialah taktik “dirtylateral” alasannya yakni adanya inkonsistensi AS selaku negara adikuasa dalam periode waktu ini yang menempuh kebijakan konservatif. Sebagai “Big Boy” di wilayah ASEAN, Indonesia perlu mengambil langkah diplomasi ekonomi strategis dengan menggunakan ASEAN selaku entitas untuk berdiplomasi terkait kebijakan resiprokal Trump.

Indonesia selaku negara “small open economy” mesti mengakui bahwa masih mengandalkan kolaborasi multilateral selaku pemberian kepada ekonomi domestik. Pemerintah juga diminta tidak terpengaruh dengan langkah BRICS nantinya apabila melaksanakan retaliasi kepada tarif resiprokal Trump ini.

Kebijakan resiprokal Trump semestinya dianggap selaku “blessing in disguise” alasannya yakni secara geopolitik banyak negara Asia yang disasar dari kebijakan tarif ini, maka persaudaraan dan korelasi di Kawasan Asia perlu dirajut untuk gotong royong menghadapi dirtylateral yang ditangani oleh Amerika Serikat.

Keep Up to Date with the Most Important News

By pressing the Subscribe button, you confirm that you have read and are agreeing to our Privacy Policy and Terms of Use
Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Tanggal 9 April 2025 Memperingati Hari Apa? Mari Rayakan Hari Asmr!

Next Post

Warga Di Iran Ramai-Ramai Jalani Operasi Hidung, Buat Apa?

Advertisement